Ads 468x60px

Tuesday, December 21, 2010

Mengenal Jalaluddin Rumi


“Mengenal Jalaluddin Rumi”
Bastian Zulyeno. MA.

”aku bukan Kristen, Yahudi, dan Muslim
 aku tak berasal dari Timur atau Barat,
 tidak dari darat atau lautan”

Di atas adalah penggalan dari bait puisi Rumi yang  mengingatkan kita untuk menjunjung nilai toleransi. Asli wujud manusia adalah cinta, Tuhan menciptakan manusia juga karena cinta yang ingin disembah melalui ibadah. Rumi memiliki keyakinan bahwa manusia memiliki jiwa asli yang berpotensi menciptakan persatuan, walau dalam kehidupan ini tak luput dari perbedaaan, tapi dalam perbedaan itulah akan kembali kepada kesatuan. Dalam hal ini, Ia juga menekankan bahwa hanya dengan syariat, akhlaq dan tariqat dapat menuju hakikat, yang disanalah momen ekstase bagi manusia sebagai tuntutan dari asli wujud penciptaannya.

Tahun 2007 UNESCO menetapkan sebagai tahun Rumi dan tahun Imigran yang diperingati di berbagai penjuru dunia termasuk di Indonesia. Karena pada tahun 2007 tepat 800 tahun Rumi. Karya-karyanya tak luntur oleh waktu justru semakin bersinar di tengah kehidupan materialistis. Siapakah orang ini? Sangat disayangkan kita yang tinggal di negeri Persia ini tidak tahu/mengenal Rumi, sementara di Barat sana orang sibuk “menyelam di lautan” karya-karyanya. Jalaluddin Muhammad ibn Sultan al Ulama Bahauddin Muhammad ibn Huasain ibn khatibi Bakri Balkhi, adalah penyair agung sufi terbesar Persia, lahir di Balkh, Afghanistan sekarang pada tanggal 30 September 1207 (6 Rabi’ul Awwal 604 H). Khudavandegar adalah gelarnya. Nama Rumi dinisbahkan kepadanya sebagai takhallus (nama pena) karena Ia menjalani sebagian besar hidupnya di Anatolia, Turki sekarang. Sebelum direbut oleh dinasti Saljuq, wilayah ini merupakan bagian dari kekaisaran Romawi Timur atau Byzantium.

Pada akhir abad ke 11 Perang Salib pertama meletus dan secara bergelombang terus berkobar selama tujuh kali hingga terhenti pada akhir abad ke 13 M. Pada tahun 1200 M Jengis khan membawa pasukan Mongol menaklukkan negeri-negeri Islam di kawasan Asia tengah dan Persia. Pada tahun 1256 M ibukota kekhalifahan Abbasiyyah, Baghdad diserbu dan diratakan dengan tanah. Dalam tahun-tahun kegelapan itu Rumi dibesarkan dalam pengungsian (imigran). Ketika usianya baru tiga tahun dia telah dibawa mengungsi oleh orang tuanya dari kota kelahirannya Balkh menuju Neyshabur, Khorasan,Timur Daya Iran. Diriwayatkan pula ketika Rumi kecil dan kelaurganya sampai di Neishabur mereka bertemu dengn Fariduddin Atthar, seorang Sufi besar penulis buku Mantiqu at Thair (Parlemen/Musyawarah Burung). Dalam pertemuan singkat itu Atthar memandang Rumi dan menghadiahkan bukunya asrar nameh (kompilasi segala rahasia) kepadanya. Atthar kepada sang ayah berpesan bahwa putramu ini kelak akan membakar para pecinta. Tahun 1220 kota ini juga diserbu Jengis Khan. Rumi dan keluarga mengungsi lagi ke Baghdad. Dirsakan tidak aman di tempat baru ayahnya membawa Rumi ke Mekkah, kemudian Palestina, Damasqus dan Libanon. Pada tahun 1221 keluarga Rumi menetap di Laranda dan pada akhirnya empat tahun kemudian pada usia 24 tahun Rumi menetap di Konya, Turki sekarang hingga akhir hayatnya. Pada tahun 1225 Sultan Alauddin Keyqabud -penguasa Anatolia saat itu- meminta ayah Rumi Bahauddin Walad yang juga seorang ulama besar untuk tinggal di Konya beserta keluarga.

Dengan bantuan Sultan pemurah itu Bahauddin Walad mendirikan sebuah madrasah besar di Konya yang mampu menampung ratusan murid. Ketika itu Konya menjadi pusat baru kebudayaan dan pendidikan keagamaan menggantikan kota-kota lain yang hancur akibat serangan bengis sang Jengis Khan bersama pasukan Mongolnya.

Sampai usianya 35 tahun, tidak tampak tanda bahwa Rumi berhasrat menjadi seorang sufi apalagi penyair. Dia memang telah mempelajari tasawwuf pada Syeikh Al Tarmizi, seorang sufi terkemuka dari Khorasan yang datang ke Konya pada tahun 1232. Bahkan ketika Rumi belajar di Madrasah Tinggi Halawiyah, Aleppo, dia sempat memperdalam studinya dalam ilmu tasawwuf, sastra dan tafsir Al Quran metode sufistik. Kehidupannnya setelah itu hanyalah mengajarkan ilmu-ilmu formal keagamaan. Tetapi pada usia 37 tahun setelah pertemuanya dengan Syamsuddin Tabrizi seorang darwish pengembara sufi dari Tabriz Iran, yang hadir di Konya, pada tahun 1244, terjadilah  revolusi ruhani dalam kehidupan dan keperibadian Rumi.

Pengalaman religius yang paling dalam adalah sebuah mysterium ineffabile, sebuah pengalaman yang tidak terlukiskan. Pengalaman itu mengatasi ruang dan waktu  sehingga karenanya, ia pun tidak dapat diekspresikan secara memadai oleh kata-kata yang terikat oleh ruang dan waktu (Annemarie Schimmel)

Dalam karya-karya Rumi, manusia diajak melakukan perenungan terhadap keindahan duniawi sebagai fase persiapan sebelum ia mampu merenungkan keindahan abadi Tuhan yang tiada terbandingkan. Masih menurut Schimmel, manusia tahu bahwa tidak ada simbol, tidak ada bentuk apapun di dunia ini, seimpressif apapun dia, yang bisa mengekspresikan secara memadai kelainan yang bersifat total (the total otherness) dari Realitas Ketuhanan. Sebabnya adalah karena pada setiap momen, Realita Ketuhanan itu menyingkapkan kedalaman-kedalaman, horison-horison, serta kemungkinan-kemungkinan baru di hadapan jiwa yang takjub. Rumi dalam salah satu puisinya menggunakan kisah klasik India tentang gajah guna memperlihatkan kelemahan pemahaman dan kata-kata manusia: dalam sebuah rumah yang gelap, orang yang memegang telinga gajah tersebut akan berpikir bahwa sang gajah sama seperti kipas, orang yang memgeng kakinya akan mengira sama seperti sebatang kayu atau pilar, sementara orang yang memegang belalainya akan berpendapat bahwa gajah sama seperti pipa. Setiapa kata hanya dapat melukiskan salah satu aspek dari realitas yang tak terhingga.

Seperti dikemukakan di awal tulisan bahwa dengan cintalah manusia tercipta. Demikian juga Rumi berpendapat bahwa untuk memahami kehidupan dan asal-usul ketuhanan dirinya, manusia dapat melakukannya melalui jalan cinta. Cinta adalah keinginan yang kuat untuk mencpai sesuatu, untuk menjelmakan diri. Secara teologis, cinta diberi makna keimanan, yang hasilnya adalah haqqul yaqin, keyakinan yang penuh kepada Yang Haqq (Abdul Hadi).

Allah swt berfirman:  allah mencintai mereka dan mereka mencintai allah (al- Maidah 54). Sang kekasih adalah Dia Yang Tunggal, Ahmad Ghazali seorang sufi besar Persia yang juga adik kandung Imam Ghazali menguraikan makna cinta dengan sangat indah dalam bukunya savane eshgh, “Ruh datang dari ketiadaan munuju perbatasan wujud saat itu ruh sedang menunggu tunggangan cinta. Pada permulaan wujud aku tak tahu apa dicampur apa, jika zat adalah ruh maka sifat zat adalah cinta dan ruh melihat rumah kosong lalu menempatinya”

Dalam penuturannya tentang cinta mistik, Rumi melantunkan kerinduan, kesedihan, serta kegembiraannya dalam rangkaian simbol-simbol yang tak berujung –tanpa permulaan- (karena sang kekasih tiada bermula), tanpa akhir, serta tanpa terma-terma yang memadai. Ia kadang menggunaka beberapa konsep yang sama, tetapi dengan makna yang sunggu berbeda. Pada saat yang lain Rumi juga mengembangkan makna bathin (inner meaning) dari sebauah kata yang tunggal dengan cara yang luar biasa indah dan puitis. Semua itu dilakukannya untuk membawa para pembaca kepada kedalaman pengalaman spritualnya.

Jika berusaha menemukan beberapa pola utama dalam simbolisme dari puisi-puisi Rumi tanpa memaksakannya untuk menjadi sebuah sistem pemikiran teologis, maka kita akan langsung melihat bahwa ia menggunakan banyak gambaran tentang gejala-gejala alam. Memang inilah salah satu karakteristik puisinya yang dalam istilah penulis sendiri sebagai “refleksi langit di bumi”. Artinya Rumi mengajak kita tidak memandang alam dan fenomenanya dengan sederhana. Terlalu dangkal logika kita jika hanya melihat keindahan pohon dan berhenti pada kalimat impressif, tapi pohon adalah mediasi kita untuk melihat langit (Yang Maha Tinggi) atau manuver tuhan bagi manusia untuk merenungi gejala alam.

Karya-karya Rumi:
1.       Kulliyyat Syams atau Divan Syams (Tabrizi), kumpulan puisi yang terdiri dari 42.000 bait yang sebagian besar berbentuk ghazal. Lebih menceritakan hubungan ruhani dan maknawi dua insan. Rumi dalam buku ini menyebut nama sahabatnya Syams dengan simbolik berbagai rupa. Hingga cintanya yang mendalam itu mengalami tranformasi menjadi cinta transendental.
2.       Mastnawi Maknawi, Matsnawi adalah salah satu genre dalam sastra persia, ciri syair ini adalah setiap dua baris memiliki satu ritme (A-A). Matsnawi maknawi yang berarti maknan-makna atau rahasia-rahasia dalam ajaran agama merupakan karya agung sang Maestro. Terdiri dari 25.485 bait prosa lirik yang tersusun dalam enam jilid. Bila Kulliyyat Syams terobsesi dari perjumpaan Rumi dengan sahabatnya Syams, namun Matsnawi ini ditulis karena permohonan muridnya Husamuddin Chalubi kepada Rumi unutk menulis buku seperti Hadiqat Al Haqiqah ( Taman Hakikat) karya Seych Sana’I atau seperti Mantiq Atthair (Musyawarah Burung) karya Seych Atthar Neisyaburi. Abdurrahman Jami penyair sufi Persia abad 15 M, menyatakan jika karya Rumi ini adalah tafsir Quran dalam bahasa Persia.
3.       Fihi ma Fihi (Di Dalam Seperti Ada Yang Di Dalam) kumpulan ceramah beliau selama mengajar di majelis. Buku ini ditulis oleh putranya dan seorang murid terdiri dari 45.000 kata. Isinya kebanyakan dalam bentuk tanya jawab yang diselingi dengan berbagai macam kisah dan perumpamaan untuk kemudahan pemahaman makna.
Inilah tiga karya besar Rumi disamping karya-karya yang lain seperti Makatib dan Rubaiyyat.

”Pembicaraanku tidak lebih dari tiga hal
Aku dulu mentah, sekarang masak dan menjadi hangus” (Rumi)

Rumi sebagai seorang Arif sekaligus juga penyair membagi manusia dalam tiga fase, mentah, matang dan terbakar/hangus. Mentah adalah manusia yang belum mengenal dirinya sendiri.atau masih menganggap dunia adalah tempat aslinya. Kemudia matang fase ini Rumi mengistilahkan sebagai terlahir kembali, di mana seseorang sudah melewati fase syariat dan tariqat. Orang yang sedang menempuh jalan ini disebut sebagai Salik artinya yang sedang memempuh perjalanan. Menurut para ahli sufi manusia di dunia ini adalah musafir dan dunia ini adalah rumah singgah. Kita manusia berasal dari langit dan akan kembali ke langit. Hidup di dunia ini harus memiliki bekal cukup hingga sampai kepada- Nya. Fase terakhir adalah momen ekstase manusia yang menemui hakikat Yang Tunggal di situlah ia hangus terbakar karena wujud asli manusianya telah bersatu dengan cinta Sang Kekasih.

F.C. Happold (1960) memasukkan Rumi ke dalam tokoh terkemuka mistisme cinta dan persatuan mistis (unio mystica). Mistisisme jenis ini berusaha membebaskan diri dari rasa terpisah dan kesebatangkaraan diri, dengan menyatukan diri dengan alam dan Tuhan. Yang membawa rasa damai dan member kepuasan kepada jiwa. Karena merasa “kesendirian” mistikus cinta berusaha meninggalkan “diri khayali” yang rendah dan pergi menuju diri yang lebih agung, Diri Hakiki.

Dia yang tidak dilahirkan, Dia yang tidak diciptakan bagaimana mungkin lidah sang makhluk mengungkapkannya tanpa terbakar?
Sebagai penutup saya akan memuat Puisi Rumi yang bercerita tentang kesedihan atas perpisahan manusia dari tempat aslinya, semoga kita dapat sama-sama merenungkan hakikat hidup kita di dunia ini.

                    Surat Seruling

Dengarkan seruling ini sedang mengaduh
Dari perpisahannya dia mengeluh
Sejak dari alamku sampai aku terpotong-potong
Laki-Laki dan perempuan semua menangis

Kuinginkan hati terkoyak dari perpisahan, hingga
Aku dapat menjelaskan perih rindu ini
Siapapun yang terpisah dari aslinya
Akan mencari hari penyambung kembali

Di setiap kelompok di situ aku mengaduh
Hingga orang yang baik dan jahat menjadi temanku
Setiap orang hanya bisa menduga dari ceriaku
Tapi ia tak tahu rahasia dalam hatiku

Padahal rintihan dan rahasiaku tidak jauh
Tapi mata dan telinga mereka tak bercahaya
Jiwa bagi raga dan raga bagi jiwa keduanya muhrim
Tapi raga tak dapat melihat jiwa

Rintihan ini adalah api bukan angin
Kalau api ini tak ada anginpun takkan ada
Api ini adalah cinta yg bersemayam dalam seruling
Ini adalah buih mendidih di dalam arak

Semua seruling terpisah dari kawan-kawannya
Nada-nada itu berasal dari pita suara kami yang ia koyak
Selain seruling adakah perpaduan antrara racun dan penawar
Selain seruling adakah perpaduan antara penduka dan pecinta

Nada seruling adalah hati yg berdarah bagi pendengarnya
Nada seruling adalah semua kisah cinta majnun (dalam kisah laila dan majnun)
Muhrimnya rasa ini hanya untuk yang mati rasa
Karena pelanggan lidah hanyalah telinga

Dalam kesedihan kami hari-hari menjadi gelap
Hari-hari gelap dan hangus menjadi satu
Hari biarlah berlalu tak ada cemas
Tetaplah di sini karena tak ada yang sesucimu

Selain ikan semua bisa kenyang oleh air
Yang tak ada rizki maknawi dalam dirinya dialah yg tertinggal hari-harinya
Dalam kematangan tak da yang mentah
Baik…cukup sampai d sini wassalam

Lepaskan belenggu itu bebaslah hai anakku
Sampai kapan kau terkekang dari emas dan perak
Kalau kau tuangkan air laut dalam satu kendi
Sebanyak apa dapat ditampung? Hanya untuk satu hari

Kendi mata org tamak takkan pernah penuh
Tiram kalau bukan karena sabar takkan mengeluarkan mutiara
Siapa yg telah mengganti bajunya dengan cinta
Dialah yang bersih dari tamak dan cacat dunia

Gembiralah hai cinta periang naluri kami
Hai pengobat sejumlah penyakit kami
Hai obat takabbur dan petunjuk kami
Hai kau Plato dan Galenus kami

Badan yg berasal dari tanah ini karena cinta telah sampai kelangit
Gunung (Sina) dalam keadaan menari dan bergerak sudah
Hai para pecinta kasih jiwa gunung (Sina) telah datang
Gunung Tur terperangah dan nabi musa pun seperti melihat halilintar

Bibirku telah menyatu dengan bibir kekasih
Seperti yang seruling katakan telah kukatan
Siapapun yang terpisah dari teman satu suaranya
 Ia akan terdiam bisu walaupun memiliki 100 suara

Umpama taman bunga tanpa bunga
Takkan terdengar lagi kicauan bulbul d sana
Kekasih adalah segalanya dan pecinta adalah tabir
Kekasih tetap hidup walaupun pecinta mati

Ketika cinta tak lagi mengarah kepadanya
Ia bagaikan burung tanpa sayap itulah dia
Bagaimana aku bisa memiliki cinta
Kalau cahaya penolongku tak ada

Cinta ingin keluar dari cerita ini
Karena cermin tak dapat lagi memantulkan bayangan
Tahukah kau kenapa cermin itu tidak terang lagi
Karena wajah dari objek cermin itu tak bercahaya

(terjemahan Bastian Zulyeno, judul asli Ney Nameh puisi pembuka dari buku Matsnawi Maknawi)



0 comments:

Post a Comment