Pendahuluan
Penulis
sebenarnya tertarik dengan sebuah kenyataan bahwa orang yang tidak makan
bisa bertahan hidup sampai 8 minggu dengan catatan masih mengkonsumsi air, tapi
itu tergantung kondisi tubuhnya, kalau lemah hanya bisa bertahan 10-14 hari
saja. Dan orang tidak minum bisa bertahan sampai 3-5 hari, akan tetapi orang
tidak bernafas hanya bisa bertahan beberapa menit saja. Seorang pesulap David Blaine, mampu
menahan nafas lebih dari 17 menit, ini mungkin adalah sebuah rekor
supranatural, yang terlepas dari hukum kebiasaan. Ini sebuah kanyataan yang
kemudian dilanjutkan dengan sebuah kenyataan lanjutan bahwa orang bernafas
hanya sebatas menghirup dan mengeluarkannya kembali, padahal dalam hal tersebut
bernafas adalah yang paling penting, diantara makan dan minum.
Tidak
pernah penulis temukan orang menyimpan nafasnya untuk persediaan nafas satu
hari berikutnya, seperti ketika orang mau melaksanakan ibadah puasa.
Kebiasaannya adalah melaksanakan ibadah sahur pada malam harinya, ini
dimaksudkan untuk menyediakan energy bagi tubuh dalam melaksanakan aktivitas
satu hari berikutnya. Jadi orang bernafas didasari pada kenyataan bahwa mereka
butuh dan tidak pernah lebih dari kadar yang mereka butuhkan, padahal alam
telah dengan bebas menyediakan udara untuk kita hirup.
Dalam
konteks hubungan dengan ekonomi syari’ah penulis ingin mengungkapkan bahwa dari
jumlah penduduk Indonesia sekitar 85,2% adalah beragama islam, namun pada tahun
2007 market share bank syari’ah di Indonesia hanya 1,7%, dan kemudian
naik menjadi 2,08% pada tahun 2008. Sungguh suatu fakta yang sangat
mengenaskan, di mana umat islam terbanyak di dunia namun kurang mampu
mengembangkan ekonomi yang sesuai dengan keyakinan sebagian besar penduduknya.
Malah Negara tetangga lebih agresif untuk mengembangkan potensi bisnis syari’ah
tersebut.
Akankah
keberadaan umat islam yang banyak ini, terutama di Indonesia hanya menjadi
pasar penjualan produk, bukannya mampu berdiri dan mengembangkan diri dan tidak
kehilangan jati diri. Negara-negara dengan penduduk mayoritas muslim bukanlah
Negara miskin sumber daya, tapi mengapa kondisi social ekonomi mereka rata-rata
mengenaskan.
Adakah
sesuatu yang salah dalam mendorong perkembangan ekonomi syari’ah Indonesia atau
di dunia saat ini? Perlu kita lihat bersama faktor-faktor yang dapat mendorong
perkembangan ekonomi syari’ah yang dalam hal ini masih di wakili oleh institusi
perbankan dan asuransi. Dalam hal ini penulis mencoba mengelompokkan beberapa
element yang dapat mempengaruhi pengembangan ekonomi syari’ah menjadi beberapa
hal dibawah ini:
1. Masyarakat
(sebagai pemilik dana dan pengguna dana);
2.
Institusi perbankan dan institusi lainnya ( sebagai manajer investasi dana
pihak ketiga);
3. Pemerintah
(sebagai regulator dan stimulator)
4. Adat
dan kebiasaan yang berkembang secara umum.
5. Faktor
lain.
Pembahasan
Kalo
kita kembalikan kepada kebiasaan manusia untuk bernafas, kita harus coba
menggunakan pendekatan ini untuk mengembangkan ekonomi yang berdasarkan
keyakinan agama yang dianut sebagian besar penduduk Indonesia. Bagaimana
besarnya peluang untuk mengembangkan ekonomi syari’ah di Indonesia karena
tersedianya pangsa pasar yang luas dan masih terbuka lebar, sehingga tidak
jarang dalam persaingan dengan bank konvensional, bank islam masih menggunakan
pendekatan aplikasi bank bank konvensional.
Karena
nasabah bank di Indonesia masih dikategorikan sebagai floating costumer,
sehingga untuk memenangkan persaingan satu dengan yang lain harus memperhatikan
pesaingnya. Mari kita coba perhatikan fakor-faktor yang dapat
mendorong perkembangan bank syari’ah secara lebih jauh:
1. Masyarakat
Sebagai pemilik dana dan pengguna dana.
Kalau
kita perhatikan secara lebih teliti masyarakat di Indonesia sering menjadi
masyarakat yang mudah kaget (kagetan) begitu melihat sesuatu fenomena baru. Hal
ini terbukti juga ketika bank syari’ah di Indonesia mulai beroperasi yang
diawali oleh Bank Muamalat Indonesia (BMI) pada tahun 1991, awalnya kurang
mendapatkan respon dari masyarakat. Namun ketika bank tersebut mampu bertahan
dari badai krisis masyarakat secara signifikan mempercayakan penitipan dananya
ke bank-bank sejenis. Hal ini di tambah dengan beberapa keuntungan yang tak
jarang nisbah bagi hasil yang didapatkan oleh penabung lebih besar dan lebih
menguntungkan jika dibandingkan dengan menabung di bank konvensional. Yang pada
akhirnya terjadi penumpukan pada sisi kredit perbankan dan kurang bisa tersalurkan
secara maksimal.
Pun
juga kalau diamati masyarakat yang mengajukan permintaan pembiayaan kepada bank
syari’ah masih relative kecil, memang diakui bahwa asset bank syari’ah tidak
sebesar bank konvensional. Karena memang di Indonesia masih sekitar 18 tahun
beroperasi, tapi perkembangan per tahun bank syari’ah menunjukkan angka yang
menggembirakan, baik itu pertambahan asset penyaluran dana dan market share.
Masyarakat
memegang peranan penting dalam mengembangkan perekonomian islam, apalagi
mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim. Kalau kita mencoba memanfaatkan
jasa perbankan syari’ah (Baik itu dalam hal saving, dan Pembiayaan) layaknya
orang bernafas, maka perkembangan sektor perbankan syari’ah akan lenih
dahsyat lagi. Karena setiap orang merasa butuh untuk menghirup dana dengan
system syari’ah dan menghembuskan kelebihan dananya dengan system syariah. Dan
tidak menjadikan kelebihan dana, untuk mencari keuntungan dengan membungakannya
seperti pada bank konvensional karena itu lebih aman, keuntungan yang di
proyeksikan lebih terjamin karena ditetapkan diawal.
Prinsip
kelebihan dana dalam hal saving adalah untuk mengamankan harta kita, dan
berusaha memutarkan kelebihan harta untuk lebih produktif. Sehingga kita tidak
tergolong orang-orang yang menumpuk-numpuk harta, tetapi kelebihan harta yang
kita miliki dapat bermanfaat untuk orang lain dalam bentuk pembiayaan yang
berbasis profit and loss sharing (PLS). Dan paradigma menabung untuk
sekedar mencari keuntungan harus dirubah, menjadi paradigma menabung adalah
investasi. Sehingga kita tidak hanya bertahan dengan sikap ongkang-ongkang kaki
menunggu bunga uang tabungan, tanpa peduli uang yang kita simpan disalurkan
kepada jalan yang halal atau tidak.
2. Institusi
perbankan dan institusi lainnya (sebagai manajer investasi dana pihak ketiga)
Institusi
perbankan sebagai pelaksana konsep perekonomian syari’ah ini harus lebih peka
dalam mengakomodir keluhan masyarakat, bahwa bank syari’ah bukan hanya bank
konvensional yang berubah bungkus. Tetapi memang memiliki karakteristik yang
mampu membedakan dirinya sendiri dengan bank konvensional.
Kalau
kita perhatikan kenapa masyarakat sering menganggap bank syari’ah tidak berbeda
jauh dengan bank konvensional atau hanya sekedar merubah kemasan. Ini
diakibatkan oleh penyaluran dana yang bertumpu pada akad murabahah (jual beli),
memang dalam akad ini bank lebih tertarik karena faktor resiko yang ditimbulkan
oleh akad ini relative lebih kecil karena margin keuntungan yang disepakati
oleh bank dan nasabah ditetapkan diawal.
Padahal
sebenarnya yang membedakan dengan bank konvensional adalah pada akad mudharabah
dan musyarakah dimana kedua akad ini bertumpu pada metode PLS. Dan diharapkan
dengan penggunaan akad ini sektor riil lebih terdorong dengan baik, karena
hubungan bank dengan nasabah pengguna dana tidak bersifat eksploitatif sebagai
pola kreditur dan debitur tapi pola kemitraan yang sejajar. Tapi nasibnya
tragis akad ini diseluruh dunia digunakan hanya sekitar 0.5%, dan di Indonesia
akad murabahan mencapai 62,87%, musyarakah 11,65%, mudharabah 19,66% pada
tahun 2006.
Kalau
kita kembalikan kepada layaknya orang bernafas, bank tidak perlu mengejar dana
yang terlalu besar. Tetapi sebaiknya istiqomah dalam menjalankan konsep yang
dipercaya sebagai konsep terbaik tersebut. Tetapi memang sulit dipungkiri
sebagai lembaga profit oriented bank lebih memilih menyalurkan dananya
kepada sektor yang mengutungkan dan kemanan dana pihak ke tiga bisa terjamin.
3. Pemerintah
(sebagai regulator dan stimulator)
Pemerintah
memang terkesan lambat dalam memahami perlunya pengembangan lembaga keuangan
syari’ah, padahal lembaga ini telah dua kali membuktikan bisa bertahan dari
ancaman krisis keuangan. Memang beberapa peraturan terkait telah dikeluarkan
khusus seputar bank syari’ah, misalnya :
UU No.
19 dapat disebut sebagai upaya pemerintah meningkatkan porsi pembiayaan
pembangunan nasional melalui skema pembiayaan syariah dari obligasi negara dan
surat berharga lainnya yang memang memiliki peluang besar bagi Indonesia untuk
memperolehnya dari investor Timur Tengah maupun ummat Islam Indonesia sendiri.
Adapun UU No.
21/2008 yang secara khusus membahas perbankan syariah merupakan upaya
pemerintah dalam menguatkan kontribusi lembaga keuangan syariah dalam
memperkokoh pembangunan nasional.
Namun
yang di harapkan oleh pelaku pasar pemerintah juga bisa memberikan insentif
pajak, sehingga perkembangan bank syari’ah bisa terdorong ke arah yang lebih
baik lagi. Seperti apa yang dilakukan oleh pemerintah Dubai memberikan
fasilitas pembebasan pajak berlaku selama 50 tahun dan bisa diperpanjang 50
tahun lagi sehingga menjadi 100 tahun. Di Malaysia lebih pendek, yakni Selama
10 tahun dan bisa diperpanjang kembali selama 10 tahun jadi 20 tahun.
4. Adat
dan kebiasaan yang berkembang secara umum.
Perlu
juga dikembangkan juga sebuah pemahaman secara holistic di dalam pola
pikir masyarakat, bahwa islam tidak hanya terbatas kepada ritual vertical
dengan Allah,SWT. Akan tetapi juga menyangkut muamalah dengan sesama umat
manusia. Dalam hal ini pesantren yang dari dulu menjadi ujung tombak pergerakan
dan pemelihara peradaban islam, perlu terus istiqomah memberikan pemahaman
kepada umat, dan terus memberikan saran kritis untuk kemajuan perekonomian
islam.
Penutup
Perekonomian
islam hari demi hari terus mengalami perkembangan, dan terus menjadi pusat
perhatian baik itu karena prestasinya ataupun kontroversialnya. Namun kritikan
bukanlah menjadi pukulan untuk mundur, dan pujian maupun penghargaan bukanlah
akan menjadikannya terbuai dan lupa daratan. Oleh sebab itu pengembangan
ekonomi syariah layak menjadi perhatian seluruh umat dari semua elemen (baik
itu sebagai pengguna dana, pelaksana, maupun regulator), jika semuanya
menganggap bahwa pengembangan ekonomi syari’ah penting layaknya orang bernafas,
insya allah ekonomi islam akan segera menemukan jati dirinya.