Ads 468x60px

Friday, March 26, 2010

Sastra Mistik; Antara Syeikh Siti Jenar dan al Hallaj

BASTIAN ZULYENO


Sastra mistik atau yang lebih dikenal dengan tasawuf dan irfan adalah salah satu karakteristik dalam sastra Persia. Penyair sufi atau seorang arif yang penyair menghasilkan karya berdasarkan ilmu tasawuf. Di Iran tasawuf tumbuh subur pada abad 10 M yang nampak awal dalam karya Abu Hasal Alkharqani dan Ba Yazid al Busthami, akan tetapi tasawuf dalam bentuk puisi dan syair mulai berkembang dan disempurnakan pada abad 11 oleh penyair Abu Said Aba al Khair di kota Khurasan, propinsi bagian timur laut Iran sekarang. Sastra mistik ini kemudian berkembang pesat melalui tangan penyair-penyair Persia selanjutnya seperti Sanai, Attar dan Jalaluddin Rumi yang mengantarkan sastra mistik Persia ke puncaknya melalui karya besarnya Masnawi Maknawi.

Di Indonesia sendiri sastra mistik baru dikenal pada abad 16, yang oleh Abdul Hadi disebutkan bahwa sastra tasawuf di Indonesia dikenalkan oleh para penyair melayu seperti Hamzah Fansuri yang hidup di pertengahan abad 16 sampai awal abad 17 dan oleh beberapa orang muridnya seperti Abdul Jamal, Abdurrahman Singkel dan Samsuddin Pasai. Karya-karya mereka seperti yang disimpulkan oleh para ilmuwan banyak sekali pengaruh dari sastra mistik Persia, yang penulis sendiri langsung dapat melihat warna sastra Persia klasik begitu membaca karya-karya penyair melayu terutama milik Hamzah Fansuri yang kental dengan gaya bahasa Jalaluddin Rumi penyair sufi terbesar Persia yang hidup dari tahun 1207-1273 M.

Di dalam sastra tasawuf ada dua hal penting yang selalu dibicarakan pertama adalah nasehat dan kedua adalah cinta. Nasehat dalam menjalani hidup dan tahapan dalam menggapai cinta sejati, cinta sejati adalah cinta makhluk kepada khaliq. Manusia tercipta karena cinta tuhan kepadanya yang ingin selalu disembah, inilah hakikat penciptaan yang berarti cinta dan wujud ini pula yang ada di setiap yang bernyawa dan memiliki naluri kasih sayang. Kembali ke topik tulisan yang ingin mencari keterkaitan antara Syeik Siti Jenar di Indonesia dan Al Hallaj di Iran dengan pendekatan sastra mistik tentunya.

Syekh Siti Jenar, begitu namanya disebut banyak diantara kita langsung memutar memori otak dengan file “kafir” karena informasi dan pengetahuan yang kita terima memang demikian, terlepas dari kontroversi ada dan tidak ada (mitos), Siti Jenar dan ajarannya telah ikut meramaikan materi sejarah Islam di Indonesia khususnya dikalangan orang Jawa. Ia adalah seseoarang yang mengajarkan ajaran manunggaling kawulo kawalan gusti yang dianggap sesat dan bertentangan dengan ajaran Wali Songo. Menurut Achmad Chodjim ada dua versi penyebab kematiannya yang kemunkinan besar terjadi setelah tahun 1515. Pertama yang sering didengar oleh kalangan santri khususnya, Siti Jenar dihukum pancung karena ajarannya dan pada saat darahnya mengalir aliran darah tersebut membentuk tulisan “Allah”. Versi yang ke dua adalah Siti Jenar mati tidak dengan cara dihukum pancung melainkan Ia memilih kematian atas kehendaknya sendiri. Seykh Siti Jenar yang juga akrab dipanggil Syekh Lemah Abang adalah seorang wali dari wali sembilan di tanah Jawa. Tetapi dia mempunyai pandangan yang berseberangan dengan pendapat wali pada umumnya pada saat itu. Ia dianggap murtad dan keluar dari Islam. Siti jenar mengganggap “dunia ini alam kematian” hidup sejati menurutnya tak tersentuh kematian, jadi menurutnya kehidupan sekarang ini bukan kehidupan sejati karena masih dihinggapi kematian. Selanjutnya tentang bersatunya hamba dengan tuhan atau yang biasa disebut dalam bahasa Jawa manunggaling kawulo kalawan gusti adalah ajaran yang memandang hidup sebagai tekanan pribadi, hidup adalah wujud pribadi, merdeka dari belenggu gangguan dan godaan sekitar. Masuklah engkau sebagai hamba-hambaku! Masuklah engkau ke dalam taman-ku (Q.S 89:29-30) Siti Jenar berpendapat melalui ayat di atas bahwasanya hanya diri pribadi yang ada, tuhan tidak butuh tempat tinggal. Taman-Nya merupakan tempat kembali hamba-hambanya yang beriman. Tetapi Dia tidak ada di dalam maupun luar taman-Nya. Hamba menyatu dengan tuhan, hidup hamba tidak tak terpisah dari Tuhan. Diri pribadi yang ada, itu jika hamba betul-betul hidup. Di dalam “Serat Siti Jenar” yang dikisahkan dalam bait syair oleh Aryawijaya disebutkan sebagai berikut (transtlerasi dari bahasa jawa)[1]



Hakikat ilmu yang sejati

Terletak pada cipta pribadi

Maksud dan tujuannya

Disatukan adanya

Lahirnya ilmu unggul

Dalam keadaan sunyi, jernih.



Inilah sekilas ajaran utama yang diajarkan oleh Siti Jenar kepada murid-muridnya, dan menurut sastra sufistik yang bermuara pada ilmu tasawuf ajaran ini adalah ajaran yang menyingkap rahasia alam dan menurut para kebanyakan wali saat itu tidak boleh diajarkan ke sembarang orang karena akan merusak tatanan agama yang telah ditetapkan pada masa itu.

Tidak seperti halnya Syekh Siti Jenar memiliki rekaman sejarah hidup terlalu minim yang sampai ke tangan kita , Husain Ibnu Mansur Ibnu Hallaj atau yang dikenal sebagai al Hallaj cukup meninggalkan jejak untuk dikaji. Al Hallaj lahir sekitar tahun 858 M di Tur sebuah daerah di barat daya Iran atau yang dikenal sekarang bagian dari kota Shiraz. Ucapannya yang selalu ia ulang-ulang ana al haq (akulah kebenaran) yang menurut penafsiran al Hallaj Ia dan zat Tuhan telah menyatu dalam dirinya, membuat nasibnya sama dengan Siti Jenar yaitu mati dengan cara dieksekusi. Ali Mir Fitrus di dalam bukunya yang berjudul Hallaj mengutip Ali Syariati yang menyatakan bahwa al Hallaj adalah seorang gila yang tidak mengenal tanggung jawab sosial. Padahal latar belakang dan kepintaran al Hallaj bukanlah manusia biasa Jika ditelisik kembali, kebanyakan ilmuwan besar Persia juga seorang penyair, menurut beberapa sumber yang penulis temukan pada zaman itu puisi adalah simbol kualitas intelektualitas seseorang, artinya setiap ilmuan dapat dilihat keahliannya berdasarkan pada ketinggian nilai syair yang ia tulis. Begitu juga al Hallaj Ia pun juga seorang penyair, diantara syair-syairnya adalah sebagai berikut:



Aku telah mencari tempat di seluruh alam

Tapi bagiku tak ada tanah yang tenteram

Dunia telah mencicipiku, aku pun telah mencicipinya

Saat itu rasanya pahit dan manis

Saat kumengejar angan-angan ia memperbudakku

Oh! Andai aku rela dengan takdirku saat itu aku merdeka.



Bait di atas adalah bait yang ia bacakan sebelum di panggil menghadap penguasa, ada juga syair yang ia tulis setelah belajar berbagai ilmu agama sampai menemukan keyakinan sendiri:

aku berpikir dengan semua agama dan aku kaji semua dengan susah payah

dan aku temukan satu (asli) wujud dengan cabang yang banyak

karenanya biarkan orang ini tidak menerima agama, karena mungkin saja

agama itu membuatnya jauh dari keaslian yang asli.



Menurut Hallaj wujud asli itu tidak lain adalah Tuhan, beberapa abad setelah kematian Hallaj banyak penyair sufi Persia seperti Rumi dan Hafez menulis puisi yang didedikasikan kepada al Hallaj:



Bunuhlah aku wahai terpercaya yang tercela

Membunuhku adalah hidup selamanya

Kematianku kau temukan kehidupanku



Badan disisiku tak berarti

Tanpa badanku sendiri aku hidup

pedang telah menjadi surgaku

kematianku ada dikehidupanku (Rumi)



Hafez penyair sufi persia abad 13 juga menulis sebagai berikut:



Tersebutlah sahabat yang digantung kepalanya

Dosanya hanyalah menyingkap rahasia (hafez)



Disebabkan oleh keyakinan yang dianggap “nyeleneh” atau dengan bahasa penulis sebagai “manusia tuhan”, kedua orang ini sama-sama menerima hukuman dari penguasa di zamannya. Ada kemiripan pada “manusia tuhan” ini dalam memandang hidup yaitu dunia adalah alam kematian dan memandang kematian sebagai kehidupan abadi. Bagi mereka iman bukanlah bekal untuk menghadapi kematian seperti hendak membawa bekal dalam perjalanan, melainkan iman harus ditransformasikan ke dalam kehidupan nyata sebagai perwjudan bersatunya zat tuhan ke dalam manusia. Kesimpulan akhir penulis mencoba mengajak pembaca untuk melihat kisah dua orang ini dari sudut pandang sastra mistik, yaitu mengkaji maknanya dari puisi-puisi yang lahir dari hasil karyanya sendiri atau dari orang lain yang terinspirasi dari kisah mereka berdua. Makna yang tersirat dari puisi-puisi tersebut dapat membawa pembaca menyelam ke alam mereka hingga dapat merasakan apa sebenarnya yang ada dalam benak dan hati penuli, karena bagi penyair perumpamaan/majas/pengkiyasan lebih mudah ditangkap daripada penjelasan, seolah-olah si pembaca adalah lawan bicara baginya. Dari bait Serat Siti Jenar, apabila kita telaah lebih dalam nampak jelas ajaran manunggaling kawulo kawalan gusti apa yang sebenarnya ingin dia sampaikan yaitu ajaran tentang bersatunya tuhan dalam wujud manusia, sehingga ibadah-ibadah praktis tidak diperlukan lagi karena sudah bersatu dengan tuhan dan Tuhan bebas dari ketentuan alam. Begitu juga dengan al Hallaj yang bait syairnya merupakan implementasi dari ucapannya ana al haq. Walaupun jaraknya berabad-abad antara keduanya, tetapi pengaruh al Hallaj sampai juga ke nusantara hingga menoreh sejarah dalam penyebaran Islam di Indonesia khusunya di pulau Jawa. Al hallaj adalah salah satu khazanah dalam sastra mistik di Iran sedangkan Siti Jenar juga memperkaya pengetahuan kita tentang sastra mistik yang dikenalkan Hamzah Fansuri dan murid-muridnya dalam sejarah sastra mistik di Indonesia walaupun tidak menyebutkan kisah siti jenar dalam syair-syairnya.(BZ)




[1] Achmad Chodjim, Syeikh Siti Jenar; Makna Kematian, (Jakarta:Serambi, 2009) 120.

Sunday, March 7, 2010

al-Tsaqafah Qabulu al-Akhar

Dialog; al-Tsaqafah Qabulu al-Akhar
Sukron Makmun, Lc.

Langit Tehran kembali memancarkan harapan baru bagi Umat Islam di seluruh dunia. Tepat pada tanggal 2 Maret kemarin, di tempat anggota Organisasi Konfrensi Islam (OKI) berkumpul, kembali diadakan Konfrensi Internasional Persatuan Islam (Konferans Bainal Melali Vahdate Islamy). Acara seperti ini sudah diadakan berkali-kali, dan sekarang adalah yang ke-23. Konfrensi ini mengusung tema, Islamic Ummah; From Religious Pluralism to Sectarianism. Acara ini bertujuan untuk mempererat persatuan di tubuh Umat Islam, Sunni dan Shiah melalui dialog. Seandainya budaya berdialog, menjadi budaya yang mengalir di setiap rongga masyarakat, maka keharmonisan, kerukunan dan kedamaian bukanlah sekadar mimpi bagi umat Islam.


Negara-negara yang menaruh perhatian kepada pendidikan, kebanyakan juga memperhatikan soal pentingnya berdialog; di antaranya adalah Cina dan Korea. CCTV 9, salah satu broad casting TV milik Cina, minimal dua kali dalam sehari menayangkan acara dialog. Terkadang dalam satu sesi, bisa dua sampai tiga tema dan dengan pakar yang berbeda. Itu pun masih ada acara Close-up, yang juga dikemas dalam bentuk dialog, ada sharing pengalaman dan pengetahuan, meskipun misinya berbeda; Korea’s Global TV, Arirang, juga mempunyai beberapa program dialog dalam bidang sosial, budaya, ekonomi, dan politik; di situ ada acara Deplomacy Lounge, In Focus dan Heart to Heart. Cina dan Korea yang notabenenya bukan Negara Muslim, mereka sangat intense dengan yang namanya dialog. Selain terbiasa dengan dialog, mereka juga memiliki kepiawaian dalam menggali potensi dan sisi positif dari setiap orang, negara maupun keadaan. Oleh karena itu tidak heran jika Cina sekarang menjadi kekuatan baru yang disegani; di dunia ekonominya nomor dua, sebagai negara pengekspor nomor satu setelah berhasil menggeser posisi Jerman sebagai negara pengekspor terbesar di dunia. Demikian juga Korea, sekarang menjadi salah satu dari tiga kekuatan Asia, selain Jepang dan Cina. Ia maju dalam bidang teknologi, olahraga, ekonomi, pendidikan, sosial dan budaya.

Akar dialog dalam Islam


Kalau kita membaca sejarah para nabi dan pembesar Islam, pasti akan kita temui bahwa dialog adalah perilaku para nabi, dan para pemimpin, —khususnya bagi mereka yang berilmu. Allah Swt. sendiri telah membuka ruang dialog dengan semua makhluk-Nya, seperti yang terdapat dalam surat al-A’raf, al-Hijr, Shad dan surat-surat yang lain. Kalau kita menkaji beberapa kitab tafsir, kita juga akan melihat kisah dialog antara Nabi Dawud a.s. dan Nabi Sulaiman a.s (al-Anbiya’: 78); dialog antara Allah Swt., dan malaikat-Nya (al-Baqarah: 30);

Antara Allah Swt., dan Nabi Isa a.s. (al-Maidah: 116, 117 sampai akhir ayat);

Antara Allah Swt., dengan Nabi Nuh a.s. (Hud: 45-46)

Dalam al-Qur’an, kata “al-qaul” dan kata yang berasal dari masdar (infinitive) tersebut, terulang sebanyak 1.500 kali lebih; Dalam surat al-An’am terdapat 50 kali kata “qul”, fi’l al-amr dari “al-qaul”,— bahkan— diulang sebanyak 4 kali dalam satu ayat. “Al-qaul”, dan “qul” adalah bahasa Allah Swt., yang digunakan untuk menganjurkan hambanya supaya selalu berkomunikasi, dan berdialog dengan baik. Dialog bukan berarti kita yang berbicara terus-menerus, tapi kita harus mendengarkan dan memberi kesempatan kepada yang lain untuk bicara. Setiap akal manusia ibarat bintang Soraya yang bersinar. Ketika bintang-bintang tersebut berkumpul, semakin berdekatan satu sama lainnya maka cahayanya pun semakin kuat menerangi alam semesta. Ketika bertemu dan berdialog, kita akan menemukan ide-ide cemerlang, lalu kita ambil yang terbaik. Dialog merupakan upaya untuk mencari solusi yang terbaik, toleransi dengan pendapat yang berbeda, dan menerima yang terbaik meskipun bukan pendapat sendiri atau pun pendapat kelompoknya. Dialog bukan upaya untuk menonjolkan diri, mengalahkan yang lain, meleburkan pendapat yang satu kedalam pendapat yang lain. Perbedaan pandangan memang diharapkan dalam sebuah dialog, karena kalau hanya kesamaan, maka kita tidak perlu duduk bersama untuk berdialog. Tapi ingat, perbedaan-perbedaan itu harus dibarengi dengan toleransi (al-tasamuh), atau budaya menerima yang lain (al-tsaqafah qabulu al-akhar).


Dialog Islam-Islam

Dengan siapa saja, dialog harus kita budayakan —mungkin yang lain boleh tidak setuju dengan pendapat saya—. Dengan teman, saudara, kerabat dan bahkan dengan musuh sekalipun. Karena selama ada niat dan tujuan yang baik, selama orang yang terlibat dalam dialog itu mau bekerjasama untuk kebaikan dan ketakwaan, maka dialog tersebut pasti akan menghasilkan yang terbaik. Yang penting masih ada hati-hati yang bersih, masih ada akal sehat (commonsense), dan ada niat yang baik, persilisihan apapun akan bisa diselesaikan, termasuk perpecahan yang sekarang lagi menggurita di kalangan Umat Islam sendiri, yaitu perpecahan Sunni-Shiah. Kalau kita cermati, terjadinya perselisihan di antara Umat Islam sebenarnya bukan disebabkan oleh perbedaan agama atau perbedaan mazhab. Al-Jazair adalah salah satu buktinya. Penduduk negeri tersebut semua bermazhab Maliki, namun kita bisa melihat apa yang terjadi di sana. Sebabnya bukan agama atau mazhab, tapi kebodohan. Kebanyakan mereka tidak berpendidikan dengan baik, sehingga mereka salah memahami —bahkan— ajaran agamanya sendiri. Dan kesalahan memahami agama akibatnya sangat fatal. Demikian juga pertengkaran antara Sunni-Shiah yang terjadi di Saudi Arabia, di Iran dan di tempat-tempat yang lain kebanyakan disebabkan oleh hal yang sama. Karena itulah Umat Islam gampang dimanfaatkan oleh orang-orang —baik yang ada di tubuh Islam sendiri maupun yang datang dari luar Islam— yang ingin mengambil manfaat dari perpecahan tersebut.



Bencana tersebut berawal dari minimnya atau salahnya sistem pendidikan yang ada di kebanyakan negara Islam. kalau kita teliti, pengikut lima mazhab Islam (al-mazahibu al-Islamy al-Khamsah), baik Khanafi, Syafii, Maliki, Hambali maupun Ja’fari, kebanyakan dari mereka adalah orang awam, dan kalau dihitung, jumlah orang yang tercerahkan (well educated ) tidak lebih dari 5 %, paling maksimal 10 %. Maka berarti 90% dari pengikut mazhab, baik Sunni maupun Shiah adalah orang awam. Mereka adalah orang-orang yang sensitif dan mudah diprovokasi. Makanya jangan heran jika masalah kecil (far’i), bukan masalah besar (ushuly) dalam agama terkadang ¾bahkan sering menyebabkan pertengkaran yang mengalirkan darah. Jika sejarah menceritakan peristiwa syahidnya al-Husain di Karbala, maka saya takut akan terjadi Karbala-Karbala yang lain, semua Umat Islam Sunni maupun Shiah bisa habis di medan-medan Karbala tersebut. Mengerikan sekali. Konflik sejarah yang terjadi pada masa lalu seharusnya tidak diteruskan kepada generasi berikutnya. Kesalahan nenek moyang tidak layak untuk dibebankan ke anak turunnya. Sudah menjadi tanggungjawab dan kewajiban bagi setiap ulama dan orang-orang terpelajar untuk menjelaskan kepada masyarakat, bukan malah membesar-besarkan konflik masa lalu itu. Karena setiap perilaku dan ucapan mereka akan diikuti oleh mereka yang awam. Dan perlu diketahui bahwa konflik sejarah tersebut sebenarnya tidak mempunyai pembenaran yang logis. Kalau tidak, kita akan semakin ketinggalan. Umat-umat lain di seluruh dunia sekarang bersatu padu, sementara Umat Islam masih berselisih, tidak memiliki dan tidak menunjukkan sikap yang baik sebagai pengikut sebuah agama yang pernah mempunyai peradaban terbaik di masanya. Umat Islam juga terlihat terlalu lemah menghadapi era modern, era globalisasi ini, karena mereka berjalan sendiri-sendiri.

Sekarang lagi nge-trend dan sekarang adalah era dialog budaya dan peradaban (al-Hiwar baina al-Hadharat wa al-Tsaqafat). Namun, saya rasa, sebelum mengadakan dialog lintas umat, lintas agama dan lintas negara, maka lebih baik kita membenahi diri sendiri, membenahi dapur sendiri bukan dapur orang lain; kita dahulukan dialog Islam-Islam, in person, sebelum berdialog dengan umat lain. Apa jadinya kalau kita berdialog dengan umat lain sementara kita adalah kelompok disintegrated. Aneh sekali mengadakan kerjasama, berdialog, hidup rukun dan berdampingan dengan Non Muslim, sementara kita sendiri lupa bahwa kita masih perlu sekali untuk berbenah diri, dan mengadakan dialog di tubuh Islam. Di antara kita harus saling memahamkan dengan cara yang paling utama, dengan niat baik, dengan persaudaraan dan kecintaan yang tulus karena Allah. Saling ber-husnu al-zhan (positive thinking) dan selalu ingat apa yang dikatakan oleh Rasulullah Saw;


“Jauhilah berprasangka (negative thinking) karena hal itu merupakan dusta yang paling buruk....” “Janganlah kamu banyak berprasangka, karena sesungguhnya sebagian prasangka adalah dosa.”


Bersatu dan hidup rukun dengan sesama Umat adalah pokok dari ajaran agama, namun —meskipun demikian— kita harus lebih giat untuk saling mendekat bukan menjauh. Tidak ada diskriminasi antara kita, yang ada hanyalah niat baik, bekerjasama dan tolong menolong untuk kebaikan bersama. ð 04-03-2010