Ads 468x60px

Friday, June 11, 2010

Melacak Asal-usul Qira’at Sab’ah dalam Al-Qur’an

Oleh: Kiki Mikail


Pendahuluan

Al-Qur'anul Karim adalah kitab pamungkas dan mu'jizat terhebat yang diturunkan Allah Swt melalui perantara malaikat jibril kepada Rasulullah SAW dalam kurun waktu kurang lebih 22 tahun. sebagai hidayah bagi seluruh umat manusia dan pembeda antara yang haq dan yang bathil. Disamping itu Al-Qur'an diturunkan oleh Allah SWT. dalam bahasa Arab yang sangat tinggi susunan bahasanya dan keindahan balaghahnya.

Bangsa arab sejak zaman baheula mempunyai lahjeh (dialek) yang beragam antara satu kabilah dengan kabilah yang lainnya, baik dari segi intonasi, bunyi maupun hurufnya, namun bahasa quraisy mempunyai kelebihan dan keistimewaan tersendiri, ia lebih tinggi daripada bahasa dan dialek yang lainnya. Oleh karena itu, wajarlah apabila Al-Qur'an pertama diturunkan adalah dalam bahasa quraisy kepada seoarang Rasul yang quraisy pula. Dengan kata lain bahasa quraisy dalam Al-Qur'an lebih dominan diantara bahasa-bahasa arab lainnya, antara lain karena orang quraisy berdampingan dengan Baitullah, menjadi pengabdi dalam urusan haji dan tempat persinggahan dalam perdagangan dan lain-lainnya.

Apabila diantara pijakannya perbedaan dan keragaman dialek-dialek bahasa arab tersebut, maka Al-Qur'an yang diwahyukan Allah SWT kepada Rasulullah Muhammad akan menjadi sempurna kemukjizatannya apabila ia dapat menampung berbagai dialek dan macam-macam cara membaca Al-Qur'an tersebut sehingga mudah untuk dibaca, dihafal serta difahami oleh umat manusia.

Dalam hal ini Syaikh Abdullah Darraz pernah berkata, "Al-Qur'an itu laksana intan berlian. Dipandang dari sudut manapun tetap akan memancarkan cahaya. Cahaya al-Qur’an itu semakin terlihat apabila kita rajin memabaca serta mengakaji ayat-ayat suci al-Qur’an.
Asal-Usul Ilmu qira’at

Selama ini, mushaf Al-Qur'an rasm Utsmani yang dicetak dan beredar di tanah air adalah menurut Qira'at (bacaan) Imam 'Ashim Riwayat Imam Hafsh. Akan tetapi, sekarang ini dibeberapa daerah macam-macam qira'at manhaj yang lain sedikit-sedikit sudah mulai dikenal dan dipelajari oleh para sarjana muslim dan masyarakat Indonesia. Sehingga sebagian masyarakat ada yang hanya sekadar ikut-ikutan menggunakan qira'at tersebut selain menurut Riwayat Hafsh tanpa mengetahui dasar ilmu qira'at itu sendiri, atau tanpa talaqqi (menerima langsung) atau musyafahah (mengaji langsung) dari guru yang terpercaya.

Mereka melakukan hal itu kebanyakan melalui belajar sendiri (otodidak) dari kaset-kaset yang menggunakan macam-macam qira'at imam tujuh. Selain itu, manfaat mengetahui ilmu qiraat sab’ah adalah agar terhindar dari mengkafirkan sesama umat Muslim dikarenakan keawaman kita terhadap variasi dalam bacaan ayat suci Al-qur’an. Banyak penulis dapati orang yang mengkafirkan salah seorang ustadz dikarenakan keawaman masyarakat tersebut dalam memahami variasi dalam bacaan al-Qur’an. Mudah-mudan tulisan ini bermanfaat bagi penulis sendiri khususnya dan kaum muslim yang ada ditehran pada umumnya.


Qira'at Ditinjau Dari Nilai Sanadnya adalah apabila Suatu qira'at atau bacaan Al-Qur'an baru dianggap sah apabila memenuhi tiga persyaratan, yaitu : 1. Harus mempunyai sanad yang mutawatir, yakni bacaan itu diterima dari guru-guru yang terpercaya, tidak ada cacat, dan bersambung sampai kepada Rasulullah SAW. 2. Harus sesuai dengan Rasm Utsmani dan yang ketiga adalah harus sesuai dengan kaidah tata bahasa arab.

Qira’at yang merupakan isim masdar dari “qara’a” yang artinya bacaan, sedangkan menurut istilah berarti ilmu mengenai cara membaca huruf-huruf atau lafaz-lafaz al-Qur’an serta perbedaan cara membacanya menurut versi perawinya. Qira’at ini bersambung sanadnya sampai kepada Rasulullah Saw. Dengan demikian keotentikan qira’at sab’ah tersebut tidak perlu diragukan lagi, karena bacaan tersebut sudah pernah mereka baca sendiri (musyafahah) dihadapan Rasulullah Saw.

Qira’at sebetulnya hanya membicarakan perbedaan bacaan pada sebagian lafaz-lafaz atau huruf-huruf al-Quran dan bukanlah seluruh lafaz atau huruf al-Qur’an. Cara membaca yang dianut oleh suatu mazhab qira’at haruslah didasarkan atas riwayat dari Nabi Muhammad Saw dan qira’at tersebut adakalanya hanya memiliki satu versi qira’at dan adakalanya memiliki beberapa versi qira’at. Adapun ketujuh imam qira’at sab’ah tersebut adalah (bersama perawinya) adalah:
1. Abu `Amru bin Al-Ala’ (perawinya adalah Ad-Duri dan As-Susi)
2. Ibnu Katsir (perawinya adalah Al-Bazzi dan Qumbul)
3. Nafi` Al-Madani (perawinya adalah Qalun dan Warsy)
4. Ibnu Amir Asy-Syami (perawinya adalah Hisyam dan Ibnu Dzakwan)
5. `Ashim Al-Kufi (perawinya adalah Syu`bah dan Hafsh). qiro’at imam ashim riwayat hafsh inilah yang biasa dipakai bacaanya oleh orang Indonesia.
6. Hamzah Al-Kufi (perawinya adalah Khalaf dan Khalad)
7. Al-Kisa’i Al-Kufi (perawinya adalah Abul Harits dan Ad-Duri).
Dalam ilmu qira’at juga dikenal apa yang disebut tariqah. tariqah berarti jalan pengambilan ilmu qiro’at. ada beberapa ulama yang mengumpulkan dan mengkaji ilmu qiro’at, diantaranya: Asy-Syatibi dengan kitabnya ‘Hirzul Amani wa Wajhut Tahani’ (disebut tariqah syatibiyah), dan Al-Jazari dengan kitabnya ‘Al-Misbah’ dan ‘Al-Kamil’ (disebut tariqah jazariyah

Mari kita perhatikan contoh ayat yang berbeda dibacanya oleh Imam qira’at namun makna dan keindahannya tetap melekat dalam ayat tersebut :

فاغسلواوجوهكم وأيد يكم ﺇلى المرافق وامسحوا برء وسكم وارجلكم ﺇلى الكعبين


Lafadz ارجلكم dalam ayat diatas dapat dibaca dengan arjulakum (nashab) bisa juga dibaca dengan arjulikum (jar). Kalau dibaca dengan arjulakum (nashab) berarti ia kembali ke lafadz wujuhakum yakni Faghsilu wujuhakum wa aidiyakum. Dengan demikian kaki harus dibasuh sebagaimana muka dan tangan (cara seperti ini dilakukan oleh orang-orang penganut mazhab ahlus sunnah). Namun jika dibaca dengan jar, berarti ia kembali ke lafadz biru usikum (برءوسكم) yakni, wamsahu biru usikum wa arjulikum. Demikian kaki cukup diusap sebagaimana kepala (cara seperti ini dilakukan oleh orang-orang penganut mazhab syiah). Sedangkan Rasulullah SAW sendiri telah menjelaskan bahwa mengusap kaki itu bagi yang memakai sepatu. Adapun yang tidak memakai sepatu wajib membersihkan kakinya.

Contoh lainnya adalah pada ayat Ma(a)liki Yaumiddin dalam surat al-fatihah, Imam Ashim dan alkisai dalam hal ini memanjangkan lafadz maliki sehingga mim dibaca mad. Adapun imam yang lainnya seperti (Nafi’, Ibnu Katsir, Abu Amr, Ibnu amir dan hamzah) membuang atau tidak membaca alif (hadzfu alif) setelah huruf mim sehingga “maliki” dibaca pendek tanpa mad (Hal ini juga berlaku dalam sura an-nas dalam kalimat“Malikin naas”).

Penutup

Demikianlah asal usul qira’at sab’ah yang selama ini masih awwam ditelinga kita. Keindahan ayat suci al-Qur’an akan nampak terlihat jelas apabila kita mengetahui dan menggunakan ilmu qira’at yang sudah di ajarkan Rasulullah kepada para ahli ilmu qira’at. Sekarang ini, banyak dari kaum muslim yang bisa membaca al-qur;an tapi tidak tahu tentang hukum bacaan tajwid dalam al-Qur’an.

Membaca ayat suci al-Qur’an tidak sama halnya dengan membaca teks-teks arab yang memang tidak ada kaidah tajwid di dalamnya. Guru-guru private al-Qur’an di tanah air kini semakin banyak dan tersebar, namun sayangnya banyak yang mengabaikan kaidah bacaan al-Qur’an di dalamnya. Hukum belajar tajwid al-Qur’an itu adalah fardlu kifayah, namun bagi orang yang mau membaca ayat suci al-qur’an sesuai dengan ilmu tajwid itu hukumnya adalah fardlu ain.

Dengan penulisan artikel ini penulis berharap mudah-mudahan kita semua giat dalam membaca, mengkaji serta mempraktekkan nilai-nilai luhur yang ada di dalam kandungan ayat suci al-Qur’an. Nabi Muhammad bersabda: barang siapa yang ingin berbicara dengan Allah maka bacalah ayat suci al-Qur’an. Wallahu a’lam

0 comments:

Post a Comment