Ads 468x60px

Featured Posts

Sunday, January 2, 2011

Mendukung dan Mengembangkan Ekonomi Islam Layaknya Bernafas


Pendahuluan

Penulis sebenarnya tertarik dengan sebuah kenyataan bahwa orang yang  tidak makan bisa bertahan hidup sampai 8 minggu dengan catatan masih mengkonsumsi air, tapi itu tergantung kondisi tubuhnya, kalau lemah hanya bisa bertahan 10-14 hari saja. Dan orang tidak minum bisa bertahan sampai 3-5 hari, akan tetapi orang tidak bernafas hanya bisa bertahan beberapa menit saja. Seorang pesulap David Blaine, mampu menahan nafas lebih dari 17 menit, ini mungkin adalah sebuah rekor supranatural, yang terlepas dari hukum kebiasaan. Ini sebuah kanyataan yang kemudian dilanjutkan dengan sebuah kenyataan lanjutan bahwa orang bernafas hanya sebatas menghirup dan mengeluarkannya kembali, padahal dalam hal tersebut bernafas adalah yang paling penting, diantara makan dan minum.

Tidak pernah penulis temukan orang menyimpan nafasnya untuk persediaan nafas satu hari berikutnya, seperti ketika orang mau melaksanakan ibadah puasa. Kebiasaannya adalah melaksanakan ibadah sahur pada malam harinya, ini dimaksudkan untuk menyediakan energy bagi tubuh dalam melaksanakan aktivitas satu hari berikutnya. Jadi orang bernafas didasari pada kenyataan bahwa mereka butuh dan tidak pernah lebih dari kadar yang mereka butuhkan, padahal alam telah dengan bebas menyediakan udara untuk kita hirup.

Dalam konteks hubungan dengan ekonomi syari’ah penulis ingin mengungkapkan bahwa dari jumlah penduduk Indonesia sekitar 85,2% adalah beragama islam, namun pada tahun 2007 market share bank syari’ah di Indonesia hanya 1,7%, dan kemudian naik menjadi 2,08% pada tahun 2008. Sungguh suatu fakta yang sangat mengenaskan, di mana umat islam terbanyak di dunia namun kurang mampu mengembangkan ekonomi yang sesuai dengan keyakinan sebagian besar penduduknya. Malah Negara tetangga lebih agresif untuk mengembangkan potensi bisnis syari’ah tersebut.

Akankah keberadaan umat islam yang banyak ini, terutama di Indonesia hanya menjadi pasar penjualan produk, bukannya mampu berdiri dan mengembangkan diri dan tidak kehilangan jati diri. Negara-negara dengan penduduk mayoritas muslim bukanlah Negara miskin sumber daya, tapi mengapa kondisi social ekonomi mereka rata-rata mengenaskan.

Adakah sesuatu yang salah dalam mendorong perkembangan ekonomi syari’ah Indonesia atau di dunia saat ini? Perlu kita lihat bersama faktor-faktor yang dapat mendorong perkembangan ekonomi syari’ah yang dalam hal ini masih di wakili oleh institusi perbankan dan asuransi. Dalam hal ini penulis mencoba mengelompokkan beberapa element yang dapat mempengaruhi pengembangan ekonomi syari’ah menjadi beberapa hal dibawah ini:

1.    Masyarakat (sebagai pemilik dana dan pengguna dana);

2.    Institusi perbankan dan institusi lainnya ( sebagai manajer investasi dana pihak ketiga);

3.    Pemerintah (sebagai regulator dan stimulator)

4.    Adat dan kebiasaan yang berkembang secara umum.

5.   Faktor lain.

Pembahasan

Kalo kita kembalikan kepada kebiasaan manusia untuk bernafas, kita harus coba menggunakan pendekatan ini untuk mengembangkan ekonomi yang berdasarkan keyakinan agama yang dianut sebagian besar penduduk Indonesia.  Bagaimana besarnya peluang untuk mengembangkan ekonomi syari’ah di Indonesia karena tersedianya pangsa pasar yang luas dan masih terbuka lebar, sehingga tidak jarang dalam persaingan dengan bank konvensional, bank islam masih menggunakan pendekatan aplikasi bank bank konvensional. 

Karena nasabah bank di Indonesia masih dikategorikan sebagai floating costumer, sehingga untuk memenangkan persaingan satu dengan yang lain harus memperhatikan pesaingnya.  Mari  kita coba perhatikan fakor-faktor yang dapat mendorong perkembangan bank syari’ah secara lebih jauh:
1.   Masyarakat Sebagai pemilik dana dan pengguna dana.

Kalau kita perhatikan secara lebih teliti masyarakat di Indonesia sering menjadi masyarakat yang mudah kaget (kagetan) begitu melihat sesuatu fenomena baru. Hal ini terbukti juga ketika bank syari’ah di Indonesia mulai beroperasi yang diawali oleh Bank Muamalat Indonesia (BMI) pada tahun 1991, awalnya kurang mendapatkan respon dari masyarakat. Namun ketika bank tersebut mampu bertahan dari badai krisis masyarakat secara signifikan mempercayakan penitipan dananya ke bank-bank sejenis. Hal ini di tambah dengan beberapa keuntungan yang tak jarang nisbah bagi hasil yang didapatkan oleh penabung lebih besar dan lebih menguntungkan jika dibandingkan dengan menabung di bank konvensional. Yang pada akhirnya terjadi penumpukan pada sisi kredit perbankan dan kurang bisa tersalurkan secara maksimal.

Pun juga kalau diamati masyarakat yang mengajukan permintaan pembiayaan kepada bank syari’ah masih relative kecil, memang diakui bahwa asset bank syari’ah tidak sebesar bank konvensional. Karena memang di Indonesia masih sekitar 18 tahun beroperasi, tapi perkembangan per tahun bank syari’ah menunjukkan angka yang menggembirakan, baik itu pertambahan asset penyaluran dana dan market share.

Masyarakat memegang peranan penting dalam mengembangkan perekonomian islam, apalagi mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim. Kalau kita mencoba memanfaatkan jasa perbankan syari’ah (Baik itu dalam hal saving, dan Pembiayaan) layaknya orang bernafas, maka perkembangan sektor perbankan syari’ah  akan lenih dahsyat lagi. Karena setiap orang merasa butuh untuk menghirup dana dengan system syari’ah dan menghembuskan kelebihan dananya dengan system syariah. Dan tidak menjadikan kelebihan dana, untuk mencari keuntungan dengan membungakannya seperti pada bank konvensional karena itu lebih aman, keuntungan yang di proyeksikan lebih terjamin karena ditetapkan diawal.

 Prinsip kelebihan dana dalam hal saving adalah untuk mengamankan harta kita, dan berusaha memutarkan kelebihan harta untuk lebih produktif. Sehingga kita tidak tergolong orang-orang yang menumpuk-numpuk harta, tetapi kelebihan harta yang kita miliki dapat bermanfaat untuk orang lain dalam bentuk pembiayaan yang berbasis profit and loss sharing (PLS). Dan paradigma menabung untuk sekedar mencari keuntungan harus dirubah, menjadi paradigma menabung adalah investasi. Sehingga kita tidak hanya bertahan dengan sikap ongkang-ongkang kaki menunggu bunga uang tabungan, tanpa peduli uang yang kita simpan disalurkan kepada jalan yang halal atau tidak.
2.   Institusi perbankan dan institusi lainnya (sebagai manajer investasi dana pihak ketiga)

Institusi perbankan sebagai pelaksana konsep perekonomian syari’ah ini harus lebih peka dalam mengakomodir keluhan masyarakat, bahwa bank syari’ah bukan hanya bank konvensional yang berubah bungkus. Tetapi memang memiliki karakteristik yang mampu membedakan dirinya sendiri dengan bank konvensional.

Kalau kita perhatikan kenapa masyarakat sering menganggap bank syari’ah tidak berbeda jauh dengan bank konvensional atau hanya sekedar merubah kemasan. Ini diakibatkan oleh penyaluran dana yang bertumpu pada akad murabahah (jual beli), memang dalam akad ini bank lebih tertarik karena faktor resiko yang ditimbulkan oleh akad ini relative lebih kecil karena margin keuntungan yang disepakati oleh bank dan nasabah ditetapkan diawal.

Padahal sebenarnya yang membedakan dengan bank konvensional adalah pada akad mudharabah dan musyarakah dimana kedua akad ini bertumpu pada metode PLS. Dan diharapkan dengan penggunaan akad ini sektor riil lebih terdorong dengan baik, karena hubungan bank dengan nasabah pengguna dana tidak bersifat eksploitatif sebagai pola kreditur dan debitur tapi pola kemitraan yang sejajar. Tapi nasibnya tragis akad ini diseluruh dunia digunakan hanya sekitar 0.5%, dan di Indonesia akad murabahan mencapai 62,87%, musyarakah 11,65%, mudharabah 19,66%  pada tahun 2006.

Kalau kita kembalikan kepada layaknya orang bernafas, bank tidak perlu mengejar dana yang terlalu besar. Tetapi sebaiknya istiqomah dalam menjalankan konsep yang dipercaya sebagai konsep terbaik tersebut. Tetapi memang sulit dipungkiri sebagai lembaga profit oriented bank lebih memilih menyalurkan dananya kepada sektor yang mengutungkan dan kemanan dana pihak ke tiga bisa terjamin.   

3.   Pemerintah (sebagai regulator dan stimulator)
Pemerintah memang terkesan lambat dalam memahami perlunya pengembangan lembaga keuangan syari’ah, padahal lembaga ini telah dua kali membuktikan bisa bertahan dari ancaman krisis keuangan. Memang beberapa peraturan terkait telah dikeluarkan khusus seputar bank syari’ah, misalnya :
UU No. 19 dapat disebut sebagai upaya pemerintah meningkatkan porsi pembiayaan pembangunan nasional melalui skema pembiayaan syariah dari obligasi negara dan surat berharga lainnya yang memang memiliki peluang besar bagi Indonesia untuk memperolehnya dari investor Timur Tengah maupun ummat Islam Indonesia sendiri. Adapun UU No. 21/2008 yang secara khusus membahas perbankan syariah merupakan upaya pemerintah dalam menguatkan kontribusi lembaga keuangan syariah dalam memperkokoh pembangunan nasional.

Namun yang di harapkan oleh pelaku pasar pemerintah juga bisa memberikan insentif pajak, sehingga perkembangan bank syari’ah bisa terdorong ke arah yang lebih baik lagi. Seperti apa yang dilakukan oleh pemerintah Dubai memberikan fasilitas pembebasan pajak berlaku selama 50 tahun dan bisa diperpanjang 50 tahun lagi sehingga menjadi 100 tahun. Di Malaysia lebih pendek, yakni Selama 10 tahun dan bisa diperpanjang kembali selama 10 tahun jadi 20 tahun.
4.   Adat dan kebiasaan yang berkembang secara umum.

Perlu juga dikembangkan  juga sebuah pemahaman secara holistic di dalam pola pikir masyarakat, bahwa islam tidak hanya terbatas kepada ritual vertical dengan Allah,SWT. Akan tetapi juga menyangkut muamalah dengan sesama umat manusia. Dalam hal ini pesantren yang dari dulu menjadi ujung tombak pergerakan dan pemelihara peradaban islam, perlu terus istiqomah memberikan pemahaman kepada umat, dan terus memberikan saran kritis untuk kemajuan perekonomian islam.

Penutup
Perekonomian islam hari demi hari terus mengalami perkembangan, dan terus menjadi pusat perhatian baik itu karena prestasinya ataupun kontroversialnya. Namun kritikan bukanlah menjadi pukulan untuk mundur, dan pujian maupun penghargaan bukanlah akan menjadikannya terbuai dan lupa daratan. Oleh sebab itu pengembangan ekonomi syariah layak menjadi perhatian seluruh umat dari semua elemen (baik itu sebagai pengguna dana, pelaksana, maupun regulator), jika semuanya menganggap bahwa pengembangan ekonomi syari’ah penting layaknya orang bernafas, insya allah ekonomi islam akan segera menemukan jati dirinya.

Sistem Penanggalan di Dunia

Sistem Penanggalan di Dunia
Dadan Maula Darmawan
 
Hampir seluruh umat Islam di seluruh dunia mengenal sistem kalender masehi (M). Bahkan, ketika diminta untuk menyebutkan nama-nama bulan masehi, mereka dengan mudah mengucapkannya. Sebaliknya, ketika dimintai pendapatnya tentang kalender Islam atau hijriyah, kebanyakan mereka akan menggelengkan kepala. Sungguh, itu sangat memprihatinkan sebab mereka tidak mengetahui kalendernya sendiri. Bahkan, mereka tak tahu bulan apa yang pertama dari kalender hijriyah.
Sistem penanggalan Islam dimulai pada saat Rasulullah SAW berhijrah dari Makkah ke Madinah. Perpindahan (hijrahnya)  Rasulullah ini, menunjukkan adanya tujuan dalam menggapai kedamaian bagi umat Islam. ''Meninggalkan keburukan menuju kebaikan,''.
Seperti diketahui, peristiwa hijrah Rasulullah itu terjadi pada hari Kamis, bertepatan dengan 15 Juli 622 M. Mulai tahun itulah dihitung sebagai tahun hijriyah. Berbeda dengan tahun masehi yang dimulai pada 1 Januari, sistem penanggalan Islam diawali pada 1 Muharram. Dan, dalam setahun, sama-sama berisi 12 bulan.
Kendati penerapan kalender hijriyah merujuk pada tahun hijrahnya Rasulullah dari Makkah ke Madinah, penanggalan tersebut resmi digunakan setelah 17 tahun kemudian saat sistem pemerintahan Islam dipimpin oleh Khalifah Umar bin Khattab. Penetapan awal tahun hijriyah yang dilakukan Khalifah Umar ini merupakan upaya dalam merasionalisasikan berbagai sistem penanggalan yang digunakan pada masa pemerintahannya. Kadang, sistem penanggalan yang satu tidak sesuai dengan sistem penanggalan yang lain sehingga sering menimbulkan persoalan dalam kehidupan umat.
Bila menilik sejarah, sebelum datangnya Islam, bangsa Arab telah menggunakan kalender tersendiri. Mereka belum menetapkan tahun, namun sudah mengenal nama-nama bulan dan hari. Kalaupun harus menggunakan tahun, itu hanya berkaitan dengan peristiwa yang terjadi, seperti Tahun Gajah yang dinisbatkan pada masa penyerbuan Abrahah ketika akan menghancurkan Ka'bah. Karena kesulitan dalam menetapkan tahun tersebut dan seiring dengan makin banyaknya persoalan yang ada terkait dengan sistem kalender yang baku, Khalifah Umar pun berinisiatif menetapkan awal hijrah sebagai permulaan tahun masehi setelah melakukan musyawarah dengan para sahabat.
Dari sini, disepakati bahwa tahun hijrahnya Nabi Muhammad SAW beserta para pengikutnya dari Makkah ke Madinah adalah tahun pertama dalam kalender Islam. Sedangkan, nama-nama bulan tetap digunakan sebagaimana sebelumnya, yakni diawali pada bulan Muharram dan diakhiri pada bulan Dzulhijjah. Peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad beserta para pengikutnya dari Makkah ke Madinah yang dipilih sebagai titik awal perhitungan tahun tentunya mempunyai makna yang amat dalam bagi umat Islam.
Rotasi bulan
Bila tahun masehi terdapat sekitar 365-366 hari dalam setahun, tahun hijriyah hanya berjumlah sekitar 354-355 hari.  perbedaan ini disebabkan adanya konsistensi penghitungan hari dalam kalender hijriyah. Rata-rata, jumlah hari dalam tahun hijriyah antara 29-30 hari. Sedangkan, tahun masehi berjumlah 28-31 hari. Inilah yang membedakan jumlah hari antara tahun masehi dan tahun hijriyah,''
Pada sistem kalender hijriyah, sebuah hari atau tanggal dimulai ketika terbenamnya matahari di tempat tersebut. Kalender hijriyah dibangun berdasarkan rata-rata silkus sinodik bulan yang memiliki 12 bulan dalam setahun. Dengan menggunakan siklus sinodik bulan, bilangan hari dalam satu tahunnya adalah (12 x 29,53059 hari = 354,36708 hari). Hal inilah yang menjelaskan hitungan satu tahun kalender hijriyah lebih pendek sekitar 11 hari dibanding dengan penghitungan satu tahun dalam kalender masehi.
Faktanya, siklus sinodik bulan bervariasi. Jumlah hari dalam satu bulan dalam kalender hijriyah bergantung pada posisi bulan, bumi, dan matahari. Usia bulan yang mencapai 30 hari bersesuaian dengan terjadinya bulan baru (new moon) di titik apooge, yaitu jarak terjauh antara bulan dan bumi; kemudian pada saat yang bersamaan, bumi berada pada jarak terdekatnya dengan matahari (perihelion).
Sementara itu, satu bulan yang berlangsung 29 hari bertepatan dengan saat terjadinya bulan baru di perige (jarak terdekat bulan dengan bumi) dan bumi berada di titik terjauhnya dari matahari (aphelion). Dari sini, terlihat bahwa usia bulan tidak tetap, melainkan berubah-ubah (antara 29 hingga 30 hari) sesuai dengan kedudukan ketiga benda langit tersebut (bulan, bumi, dan matahari). Penentuan awal bulan ditandai dengan munculnya penampakan bulan sabit pertama kali (hilal) setelah bulan baru (konjungsi atau ijtima). Pada fase ini, bulan terbenam sesaat setelah terbenamnya matahari sehingga posisi hilal berada di ufuk barat.
 Jika hilal tidak dapat terlihat pada hari ke-29, jumlah hari pada bulan tersebut dibulatkan menjadi 30 hari. Tidak ada aturan khusus bulan-bulan mana saja yang memiliki 29 hari dan mana yang memiliki 30 hari. Semuanya tergantung pada penampakan hilal.
Percampuran Islam-Jawa dalam Penanggalan Hijriyah
Kedatangan agama Islam di tanah Jawa membawa bermacam-macam produk budaya dari pusat penyebaran Islam. Di antara produk budaya yang dibawa Islam ketika itu adalah sistem penanggalan berdasarkan revolusi bulan terhadap bumi (qomariah), yang dikenal dengan penanggalan hijriyah. Sesungguhnya, masyarakat Jawa sendiri sudah punya sistem penanggalan yang mapan, yaitu penanggalan saka. Ada beberapa perbedaan antara kalender saka dengan kalender hijriyah,  seperti perbedaan nama-nama bulan dan penetapan permulaan hari. Namun kemudian, terjadi percampuran kedua kalender--kalender Jawa-Islam--yang masih digunakan hingga saat ini. Percampuran ini memunculkan sejumlah pertanyaan. Apakah telah terjadi Jawanisasi Islam atau Islamisasi Jawa?
Lalu, jika memang telah terjadi percampuran, bagaimana proses itu berjalan sehingga tidak menimbulkan penolakan terhadap ajaran Islam yang ketika itu masih relatif baru? Menurut sejarah, munculnya kalender Jawa-Islam tidak lepas dari peran Sultan Agung (1613-1645), sultan Mataram Islam ketiga yang bergelar Senapati Ing Alaga Sayiddin Panatagama Kalifatullah. Beliau mengakulturasikan (menggabungkan) penanggalan Jawa (saka) yang berdasarkan sistem kalender matahari dan bulan (kalender lunisolar) dengan penanggalan hijriyah. Bulan-bulan dalam kalender Jawa-Islam adalah Sura, Sapar, Mulud, Bakda Mulud, Jumadilawal, Jumadilakir, Rejeb, Ruwah, Pasa, Sawal, Sela, dan Besar. Ada bulan yang masih menggunakan istilah Arab, yaitu Jumadilawal dan Jumadilakir. Warna Jawa pada kalender Jawa-Islam lebih kentara pada lima hari pasar atau Pancawara (Pahing, Pon, Wage, Kliwon, dan Legi).
Menurut Purwadi, dari kalangan umat Islam sendiri, umat nahdliyin adalah umat yang masih kuat menggunakan penanggalan Jawa-Islam. ''Pada papan pengumuman di masjid-masjid NU, biasanya terdapat jadwal khatib Jumat berdasarkan hari-hari pasaran. Misalnya, pada Jumat Pon yang khatib adalah kiai A, Jumat Wage kiai B, Jumat Kliwon kiai C dan seterusnya. Lima hari pasar, jelasnya, juga sangat penting dalam kegiatan perekonomian masyarakat Jawa sehingga seseorang akan melakukan aktivitas ekonomi pada hari tertentu dan tidak melakukannya pada hari lain. Hal itu tercermin pada nama-nama pasar di daerah-daerah Jawa. Ada Pasar Legi, Pasar Kliwon, dan Pasar Wage. Ini berbeda dengan masyarakat Melayu yang menamakan pasar dengan nama-nama hari biasa, seperti Pasar Jumat, Pasar Rabu, atau Pasar Minggu.
Sistem penanggalan Jawa-Islam akan tetap dipakai oleh umat Islam Jawa karena di dalamnya terdapat kepercayaan-kepercayaan mistis. Teknologi informasi saat ini malah semakin menguatkan fungsi klasifikasi Pancawara itu. Contohnya, iklan yang ditayangkan di televisi lebih banyak iklan tentang kepercayaan Jawa, seperti Primbon, Ramal, Manjur, dan lainnya. Fenomena ini diakui Dr. Purwadi sebagai desakralisasi sistem Pancawara. Di sisi lain, menunjukkan kepercayaan masyarakat pada hal-hal mistis tetap kuat.
Sistem Penanggalan yang Digunakan di Dunia
Masyarakat dunia mengenal beberapa macam sistem penanggalan dan kalender. Sedikitnya, ada empat sistem penanggalan, yaitu kalender hijriyah, masehi, saka, dan Cina. Masing-masing kalender tersebut dibangun dengan menggunakan mekanisme penghitungan yang berbeda satu sama lain.
Kalender hijriyah atau kalender Islam, misalnya, menggunakan sistem kalender lunar (qomariyah) yang mengacu kepada siklus perputaran bulan. Kalender masehi menggunakan basis penghitungan kalender solar (syamsiyah) yang mengacu kepada siklus peredaran matahari. Sementara itu, kalender saka dan kalender Cina menggunakan sistem penanggalan syamsiyah dan qomariyah atau sering disebut dengan istilah kalender luni-solar.
Penanggalan hijriyah
Dalam menentukan tanggal atau bulan yang berkaitan dengan ibadah atau hari-hari penting lainnya, umat Islam berpatokan pada sistem penanggalan hijriyah. Bahkan, di banyak negara yang berpenduduk mayoritas Islam, kalender hijriyah digunakan sebagai sistem penanggalan sehari-hari.
Kalender ini dinamakan kalender hijriyah karena pada tahun pertama kalender ini adalah tahun di mana terjadi peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah, yakni pada tahun 622 Masehi (M). Namun, penentuan kapan dimulainya tahun 1 Hijriyah baru dilakukan enam tahun setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW atau 17 tahun setelah hijrah, yakni semasa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab. Namun demikian, sistem yang mendasari penghitungan kalender hijriyah telah ada sejak zaman pra-Islam. Sistem ini direvisi pada tahun ke-9 setelah hijrahnya Nabi SAW. Revisi sistem ini dilakukan setelah turunnya wahyu Allah, ayat 36-37 surah Attaubah, yang melarang penambahan hari (interkalasi) pada sistem penanggalan.
Kalender masehi
Kata 'masehi' (disingkat M) dan sebelum masehi (disingkat SM) biasanya merujuk kepada tarikh atau tahun menurut kalender gregorian. Awal tahun masehi merujuk pada tahun yang dianggap sebagai tahun kelahiran Nabi Isa al-Masih. Karena itu, kalender ini dinamakan masihiyah. Sebaliknya, istilah sebelum masehi (SM) merujuk pada masa sebelum tahun tersebut.
Sebagian besar orang non-Kristen biasanya mempergunakan singkatan M dan SM ini tanpa merujuk kepada konotasi Kristen tersebut. Sementara itu, penggunaan istilah masehi secara internasional dalam bahasa Inggris menggunakan bahasa Latin, yaitu anno domini (AD) yang berarti Tahun Tuhan kita dan sebelum masehi disebut sebagai before Christ (BC) yang bermakna Sebelum Kristus.  Selain itu, dalam bahasa Inggris juga dikenal sebutan common era (CE) yang berarti 'Era Umum' dan before common era (BCE) yang bermakna 'Sebelum Era Umum.' Kedua istilah ini biasanya digunakan ketika ada penulis yang tidak ingin menggunakan nama tahun Kristen.
Meskipun tahun 1 M dianggap sebagai tahun kelahiran Yesus, bukti-bukti historis terlalu sedikit untuk mendukung hal tersebut. Para ahli menanggali kelahiran Yesus secara bermacam-macam, dari 18 SM hingga 7 SM. Sejarawan tidak mengenal tahun 0-1 M adalah tahun pertama sistem masehi dan tepat setahun sebelumnya adalah tahun 1 SM. Dalam perhitungan sains, khususnya dalam penanggalan tahun astronomis, hal ini menimbulkan masalah karena tahun sebelum masehi dihitung dengan menggunakan angka 0. Maka dari itu, terdapat selisih satu tahun di antara kedua sistem.
Tahun saka
Kalender saka adalah sebuah kalender yang berasal dari India. Kalender ini merupakan sebuah penanggalan syamsiyah qomariyah (candra surya) atau kalender luni solar. Tidak hanya digunakan oleh masyarakat Hindu di India, kalender saka juga masih digunakan oleh masyarakat Hindu di Bali, Indonesia, terutama untuk menentukan hari-hari besar keagamaan mereka.
Sejak tahun 78 M itulah ditetapkan adanya tarikh atau perhitungan tahun saka, yang satu tahunnya juga sama-sama memiliki 12 bulan dan bulan pertamanya disebut caitramasa, bersamaan dengan bulan Maret tahun masehi. Sejak itu pula, kehidupan bernegara, bermasyarakat, dan beragama di India ditata ulang. Oleh karena itu, peringatan Tahun Baru Saka bermakna sebagai hari kebangkitan, hari pembaharuan, hari kebersamaan (persatuan dan kesatuan), hari toleransi, dan hari kedamaian sekaligus hari kerukunan nasional.
Mengenai kaum Saka, ada yang menyebut bahwa mereka termasuk suku bangsa Turki atau Tatar. Namun, ada pula yang menyebut bahwa mereka termasuk kaum Arya dari suku Scythia. Sumber lain lagi menyebutkan bahwa mereka sebenarnya orang Yunani (dalam bahasa Sansekerta disebut Yavana) yang berkuasa di Baktria (sekarang Afghanistan).
Kalender Cina
Seperti halnya kalender saka, kalendar Cina juga menggunakan sistem penanggalan luni solar. Menurut legenda, kalendar Cina berkembang sejak tahun ketiga sebelum masehi. Para ahli menyepakati bahwa kalendar Cina sebagai patokan penanggalan yang paling lama digunakan di dunia. Kalendar ini adalah ciptaan pemerintah Huang Di atau Maharaja Kuning yang memerintah sekitar 2698-2599 SM.
Bukti arkeologi terawal mengenai kalendar Cina ditemukan pada selembar naskah kuno yang diyakini berasal dari tahun kedua sebelum masehi atau pada masa Dinasti Shang berkuasa. Pada masanya, dipaparkan tahun luni solar yang lazimnya 12 bulan, namun kadang-kadang ada pula bulan ke-13, bahkan bulan ke-14. Penambahan bilangan bulan dalam tahun kalendar memastikan peristiwa tahun baru tetap dilangsungkan dalam satu musim saja, sebagaimana kalender masehi meletakkan satu hari tambahan pada bulan Februari setiap empat tahun.
Di negara Cina sekarang, kalendar Cina hanya digunakan untuk menandai perayaan orang Cina, seperti Tahun Baru Cina, perayaan Duan Wu, dan Perayaan Kuih Bulan. Begitu juga dalam bidang astrologi, seperti memilih tahun yang sesuai untuk melangsungkan perkawinan atau meresmikan pembukaan bangunan baru. Sementara itu, untuk kegiatan harian, masyarakat Cina mengacu kepada hitungan kalender masehi.