Ads 468x60px

Sunday, March 7, 2010

al-Tsaqafah Qabulu al-Akhar

Dialog; al-Tsaqafah Qabulu al-Akhar
Sukron Makmun, Lc.

Langit Tehran kembali memancarkan harapan baru bagi Umat Islam di seluruh dunia. Tepat pada tanggal 2 Maret kemarin, di tempat anggota Organisasi Konfrensi Islam (OKI) berkumpul, kembali diadakan Konfrensi Internasional Persatuan Islam (Konferans Bainal Melali Vahdate Islamy). Acara seperti ini sudah diadakan berkali-kali, dan sekarang adalah yang ke-23. Konfrensi ini mengusung tema, Islamic Ummah; From Religious Pluralism to Sectarianism. Acara ini bertujuan untuk mempererat persatuan di tubuh Umat Islam, Sunni dan Shiah melalui dialog. Seandainya budaya berdialog, menjadi budaya yang mengalir di setiap rongga masyarakat, maka keharmonisan, kerukunan dan kedamaian bukanlah sekadar mimpi bagi umat Islam.


Negara-negara yang menaruh perhatian kepada pendidikan, kebanyakan juga memperhatikan soal pentingnya berdialog; di antaranya adalah Cina dan Korea. CCTV 9, salah satu broad casting TV milik Cina, minimal dua kali dalam sehari menayangkan acara dialog. Terkadang dalam satu sesi, bisa dua sampai tiga tema dan dengan pakar yang berbeda. Itu pun masih ada acara Close-up, yang juga dikemas dalam bentuk dialog, ada sharing pengalaman dan pengetahuan, meskipun misinya berbeda; Korea’s Global TV, Arirang, juga mempunyai beberapa program dialog dalam bidang sosial, budaya, ekonomi, dan politik; di situ ada acara Deplomacy Lounge, In Focus dan Heart to Heart. Cina dan Korea yang notabenenya bukan Negara Muslim, mereka sangat intense dengan yang namanya dialog. Selain terbiasa dengan dialog, mereka juga memiliki kepiawaian dalam menggali potensi dan sisi positif dari setiap orang, negara maupun keadaan. Oleh karena itu tidak heran jika Cina sekarang menjadi kekuatan baru yang disegani; di dunia ekonominya nomor dua, sebagai negara pengekspor nomor satu setelah berhasil menggeser posisi Jerman sebagai negara pengekspor terbesar di dunia. Demikian juga Korea, sekarang menjadi salah satu dari tiga kekuatan Asia, selain Jepang dan Cina. Ia maju dalam bidang teknologi, olahraga, ekonomi, pendidikan, sosial dan budaya.

Akar dialog dalam Islam


Kalau kita membaca sejarah para nabi dan pembesar Islam, pasti akan kita temui bahwa dialog adalah perilaku para nabi, dan para pemimpin, —khususnya bagi mereka yang berilmu. Allah Swt. sendiri telah membuka ruang dialog dengan semua makhluk-Nya, seperti yang terdapat dalam surat al-A’raf, al-Hijr, Shad dan surat-surat yang lain. Kalau kita menkaji beberapa kitab tafsir, kita juga akan melihat kisah dialog antara Nabi Dawud a.s. dan Nabi Sulaiman a.s (al-Anbiya’: 78); dialog antara Allah Swt., dan malaikat-Nya (al-Baqarah: 30);

Antara Allah Swt., dan Nabi Isa a.s. (al-Maidah: 116, 117 sampai akhir ayat);

Antara Allah Swt., dengan Nabi Nuh a.s. (Hud: 45-46)

Dalam al-Qur’an, kata “al-qaul” dan kata yang berasal dari masdar (infinitive) tersebut, terulang sebanyak 1.500 kali lebih; Dalam surat al-An’am terdapat 50 kali kata “qul”, fi’l al-amr dari “al-qaul”,— bahkan— diulang sebanyak 4 kali dalam satu ayat. “Al-qaul”, dan “qul” adalah bahasa Allah Swt., yang digunakan untuk menganjurkan hambanya supaya selalu berkomunikasi, dan berdialog dengan baik. Dialog bukan berarti kita yang berbicara terus-menerus, tapi kita harus mendengarkan dan memberi kesempatan kepada yang lain untuk bicara. Setiap akal manusia ibarat bintang Soraya yang bersinar. Ketika bintang-bintang tersebut berkumpul, semakin berdekatan satu sama lainnya maka cahayanya pun semakin kuat menerangi alam semesta. Ketika bertemu dan berdialog, kita akan menemukan ide-ide cemerlang, lalu kita ambil yang terbaik. Dialog merupakan upaya untuk mencari solusi yang terbaik, toleransi dengan pendapat yang berbeda, dan menerima yang terbaik meskipun bukan pendapat sendiri atau pun pendapat kelompoknya. Dialog bukan upaya untuk menonjolkan diri, mengalahkan yang lain, meleburkan pendapat yang satu kedalam pendapat yang lain. Perbedaan pandangan memang diharapkan dalam sebuah dialog, karena kalau hanya kesamaan, maka kita tidak perlu duduk bersama untuk berdialog. Tapi ingat, perbedaan-perbedaan itu harus dibarengi dengan toleransi (al-tasamuh), atau budaya menerima yang lain (al-tsaqafah qabulu al-akhar).


Dialog Islam-Islam

Dengan siapa saja, dialog harus kita budayakan —mungkin yang lain boleh tidak setuju dengan pendapat saya—. Dengan teman, saudara, kerabat dan bahkan dengan musuh sekalipun. Karena selama ada niat dan tujuan yang baik, selama orang yang terlibat dalam dialog itu mau bekerjasama untuk kebaikan dan ketakwaan, maka dialog tersebut pasti akan menghasilkan yang terbaik. Yang penting masih ada hati-hati yang bersih, masih ada akal sehat (commonsense), dan ada niat yang baik, persilisihan apapun akan bisa diselesaikan, termasuk perpecahan yang sekarang lagi menggurita di kalangan Umat Islam sendiri, yaitu perpecahan Sunni-Shiah. Kalau kita cermati, terjadinya perselisihan di antara Umat Islam sebenarnya bukan disebabkan oleh perbedaan agama atau perbedaan mazhab. Al-Jazair adalah salah satu buktinya. Penduduk negeri tersebut semua bermazhab Maliki, namun kita bisa melihat apa yang terjadi di sana. Sebabnya bukan agama atau mazhab, tapi kebodohan. Kebanyakan mereka tidak berpendidikan dengan baik, sehingga mereka salah memahami —bahkan— ajaran agamanya sendiri. Dan kesalahan memahami agama akibatnya sangat fatal. Demikian juga pertengkaran antara Sunni-Shiah yang terjadi di Saudi Arabia, di Iran dan di tempat-tempat yang lain kebanyakan disebabkan oleh hal yang sama. Karena itulah Umat Islam gampang dimanfaatkan oleh orang-orang —baik yang ada di tubuh Islam sendiri maupun yang datang dari luar Islam— yang ingin mengambil manfaat dari perpecahan tersebut.



Bencana tersebut berawal dari minimnya atau salahnya sistem pendidikan yang ada di kebanyakan negara Islam. kalau kita teliti, pengikut lima mazhab Islam (al-mazahibu al-Islamy al-Khamsah), baik Khanafi, Syafii, Maliki, Hambali maupun Ja’fari, kebanyakan dari mereka adalah orang awam, dan kalau dihitung, jumlah orang yang tercerahkan (well educated ) tidak lebih dari 5 %, paling maksimal 10 %. Maka berarti 90% dari pengikut mazhab, baik Sunni maupun Shiah adalah orang awam. Mereka adalah orang-orang yang sensitif dan mudah diprovokasi. Makanya jangan heran jika masalah kecil (far’i), bukan masalah besar (ushuly) dalam agama terkadang ¾bahkan sering menyebabkan pertengkaran yang mengalirkan darah. Jika sejarah menceritakan peristiwa syahidnya al-Husain di Karbala, maka saya takut akan terjadi Karbala-Karbala yang lain, semua Umat Islam Sunni maupun Shiah bisa habis di medan-medan Karbala tersebut. Mengerikan sekali. Konflik sejarah yang terjadi pada masa lalu seharusnya tidak diteruskan kepada generasi berikutnya. Kesalahan nenek moyang tidak layak untuk dibebankan ke anak turunnya. Sudah menjadi tanggungjawab dan kewajiban bagi setiap ulama dan orang-orang terpelajar untuk menjelaskan kepada masyarakat, bukan malah membesar-besarkan konflik masa lalu itu. Karena setiap perilaku dan ucapan mereka akan diikuti oleh mereka yang awam. Dan perlu diketahui bahwa konflik sejarah tersebut sebenarnya tidak mempunyai pembenaran yang logis. Kalau tidak, kita akan semakin ketinggalan. Umat-umat lain di seluruh dunia sekarang bersatu padu, sementara Umat Islam masih berselisih, tidak memiliki dan tidak menunjukkan sikap yang baik sebagai pengikut sebuah agama yang pernah mempunyai peradaban terbaik di masanya. Umat Islam juga terlihat terlalu lemah menghadapi era modern, era globalisasi ini, karena mereka berjalan sendiri-sendiri.

Sekarang lagi nge-trend dan sekarang adalah era dialog budaya dan peradaban (al-Hiwar baina al-Hadharat wa al-Tsaqafat). Namun, saya rasa, sebelum mengadakan dialog lintas umat, lintas agama dan lintas negara, maka lebih baik kita membenahi diri sendiri, membenahi dapur sendiri bukan dapur orang lain; kita dahulukan dialog Islam-Islam, in person, sebelum berdialog dengan umat lain. Apa jadinya kalau kita berdialog dengan umat lain sementara kita adalah kelompok disintegrated. Aneh sekali mengadakan kerjasama, berdialog, hidup rukun dan berdampingan dengan Non Muslim, sementara kita sendiri lupa bahwa kita masih perlu sekali untuk berbenah diri, dan mengadakan dialog di tubuh Islam. Di antara kita harus saling memahamkan dengan cara yang paling utama, dengan niat baik, dengan persaudaraan dan kecintaan yang tulus karena Allah. Saling ber-husnu al-zhan (positive thinking) dan selalu ingat apa yang dikatakan oleh Rasulullah Saw;


“Jauhilah berprasangka (negative thinking) karena hal itu merupakan dusta yang paling buruk....” “Janganlah kamu banyak berprasangka, karena sesungguhnya sebagian prasangka adalah dosa.”


Bersatu dan hidup rukun dengan sesama Umat adalah pokok dari ajaran agama, namun —meskipun demikian— kita harus lebih giat untuk saling mendekat bukan menjauh. Tidak ada diskriminasi antara kita, yang ada hanyalah niat baik, bekerjasama dan tolong menolong untuk kebaikan bersama. ð 04-03-2010

0 comments:

Post a Comment